Judul di atas diambil dari satu buku berjudul “Ya Alloh, Aku jatuh Cinta!”, judul yang menggelitik otak dan pikiran saya. Kemudian muncul tanda seru, koma, titik, bahkan tanda tanya “ Benarkah demikian??”
Well, kita bahas deh inti dari isi buku itu.
Cinta itu tidak “abadi”, Wow…… suatu pernyataan yang mencengangkan yak, setelah selama ini kita selalu disuguhi cerita cinta yang menggetarkan hati, bahkan bahkan bertahan sampai berabad-abad kemudian.
Kesimpulan yang amat sangat kontroversial ini ditemukan oleh seorang antropolog asal AS, Helen fischer, setelah melakukan penelitian bertahun-tahun. Apakah ini didasarkan oleh pengalaman pribadinya yang menyakitkan?? Entahlah. Kita lihat saja nanti. Lanjuut…..
Bisakah cinta bisa diutak-atik seanalitis itu, bahkan dengan membuat rumus-rumus kimia dan social? Padahal bagi sebagian orang cinta bisa dikatakan identik dengan sebuah benda yang misterius, bahkan terkadang kedatangannya tidak direncana. Meski cinta bisa dirasakan, kono sangat tidak mudah dimengerti. Cinta bisa meluapkan kebahagiaan sekaligus kesengsaraan. Bisa menciptakan kebebasan namun tak urung juga bisa membuat manusia bagaikan seorang tawanan. Hmmm Cinta…
So, kalau memang cinta bisa diteliti secara alamiah, apa to sebenarnya cinta itu??
Teori tentang cinta pernah populer sekitar 5 hingga 6 tahun yang lalu. Tepatnya sih ketika pendekatan ilmu faal yang membedah tubuh manusia menjadi populer. Selanjutnya, teori ini berkembang dan mulai dihubung-hubungkan dengan bidang ilmu lainnya. Belakangan, ada juga teori cinta dengan pendekatan bioneurologi yang melihat, membandingkan, dan mengamati struktur otak orang gila misalnya, atau psikofisiologi yang mempelajari kaitan antara perilaku manusia dan pengaruh hormon pada tubuhnya. Cinta sama dengan emosi. Emosi biasanya ditentukan oleh sejumlah hormon (terutama dalam siklus menstruasi), maka hal yang sama juga berlaku dalam proses jatuh cinta. Terutama ketika terjadi cinta pada pandangan pertama, ada getaran dalam tubuh. Tapi, apakah iya, gelora cinta semata-mata ditentukan oleh hormon dalam tubuh?
Diane Lie – seorang psikolog sekaligus peneliti ulet pada sebuah universitas di Beijing menuturkan, bahwa meskipun urusan cinta bisa dijelaskan secara kimiawi, namun rasa cinta tidak semata-mata hanya ditentukan oleh aktivitas hormon, dan manusia tidak berdaya mengatasinya. Juga tidak selalu berarti bila kadar hormon berkurang, maka rasa cintapun semakin berkurang.
Memang pemacu gelora cinta (PEA) tadi, memiliki pengaruh kerja yang tidak tahan lama. Hormon yang secara ilmiah mempunyai kesamaan dengan amfetamin ini, hanya efektif bekerja selama 2-3 tahun saja. Lama kelamaan, tubuh pun bagaikan imun alias kebal terhadap pemacu gelora tersebut.
Masih menurut Diane, proses ‘fal in love’ itu tidak serta merta hanya dipengaruhi hormon dengan reaksi kimiawinya. Terutama dalam proses pacaran hingga menikah, banyak faktor social lainnya yang ikut menentukan. Contoh kecil saja pada proses jatuh cinta versi Witing Tresno Jalaran Seko Kulino (tumbuh cinta karena terbiasa/pertemuan berulang-ulang). Demikian ketika kita marah dan ingin membentak seseorang, hormon memang mempunyai pengaruh khusus, tapi ada faktor lain yang ikut menentukan.
Manusia adalah makhluk yang unik dan kompleks tentunya. Jika proses reaksi kimia terjadi pada hewan, barulah teori Helen Fiscer yang disebut four years itch bisa dimentahkan.
Intinya, teori PEA dilandaskan pada pendekatan ilmu eksakta, sedangkan teori four years itch-nya Fischer ini lebih menggunakan pendekatan social.
Fischer, yang juga penulis buku “Anatomy of Love” menemukan bahwa kasus perceraian mencapai puncaknya ketika usia perkawinan mencapai usia empat tahun. Kalaupun masa empat tahun itu terlalui, katanya, kemungkinan berkat hadirnya anak kedua. Kondisi ini membuat pernikahan mereka bisa bertahan hingga lebih dari empat tahun.
Ok, sekarang kita coba main hitung-hitungan. Misalnya, masa pacaran telah dilalui tiga tahun, berarti kesempatan untuk bisa mempertahankan gelora cinta hanya ada di tahun pertama perkawinan. Oh tidak…….
Lalu apa yang akan terjadi setelah tahun kedua, ketiga dan seterusnya. Cuma ada sisa-sisanya atau bahkan hilang tak berbekas? Lantas bagaimana dengan mereka yang berhasil melewati masa pacaran lebih dari enam tahun?
Menurut pandangan Diane, dalam hubungan suami istri ataupun pacaran, selain cinta, ada hubungan lain yang sifatnya friendship, pertemanan. Seandainya setelah beberapa waktu cinta itu menipis-karena tersisihkan hal-hal lain, misalnya karena rutinitas yang itu-itu juga, lalu segalanya berubah menjadi begitu membosankan.
Kakek-nenek dapat hidup rukun sampai mereka berusia lanjut juga karena senyawa kimia. Namanya Oksitosin. Menurut penelitian, kesetiaan pada pasangan berhubungan dengan kadar oksitosin yang tinggi. Kadar ini dapat ditingkatkan dengan cara masing-masing dari pasangan yang berusaha saling menyayang, walau kadang pasangannya menjengkelkan. Itu barangkali inti nasehat orang tua “cinta tumbuh karena biasa”.
Well setelah membaca pembahasan ini, bagaimana menurut sobat blogger???